Selasa, 09 Maret 2010

NELAYAN TAK MAMPU


Kisah Nelayan Tak Mampu di Bahari
Nestapa Tak Bertepi..


Perjalanan ini...Terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk disampingku kawan...
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan..
Di tanah kering bebatuan...

Sepenggal bait lagu Ebit G Ade di atas mengantar kita untuk melihat lebih dekat kehidupan nelayan tradisional yang kurang mampu di Desa Bahari Kecamatan Tojo Kabupaten Tojo Una-Una, yang menjalani aktivitas kesehariannya dengan mencari ikan dengan peralatan sederhana, guna mencukupi kebutuhan sehari-harinya.

LAPORAN : RAHMAN YUDHIANSYAH (Wartawan Media Alkhairaat Di Tojo Una-Una)

Rumah rumah yang berukuran kecil dengan satu ruangan sebagai tempat tidur sekaligus tempat memasak, letaknya tepat di tepi pantai Desa Bahari.
Asap tungku kayu yang mengepul di ruangan itu, menemani Lasahing (51}meninakbobokan anak terakhirnya menjelang malam. Lampu botol minyak tanah satu-satunya di rumah itu, menerangi ruangan dimana Lasahing bersama anak dan istrinya beristirahat. Aroma pantai yang khas menyenyakkan tidur sang anak dan istri Lasahing.
Cahaya lampu botol di rumah Lasahing, terlihat remang diantara dinding rumah yang menganga. Untuk menuju rumah Lasahing, harus melewati jembatan papan yang telah rapuk dimakan hujan dan panas. Untuk melintas jembatan papan itu, setiap orang harus hati-hati melangkah, jika tidak yang melewatinya bisa terjatuh, karena jembatan papan itu sudah bergoyang karena tidak bisa diperbaiki lagi.
Lasahing seorang nelayang tradisional di Desa Bahari tersebut telah menjalani kehidupannya di rumah yang tak layak dihuni itu kurang lebih 20 tahun.
Sebagai nelayan tradisional yang kurang mampu, berusaha mensyukuri apa yang ada dalam kehidupannya. Dengan empat orang anak, kehidupan Lasahing sebagai seorang nelayan tradisional berusaha menghidupi keluarganya dengan hasil tangkapannya yang tak menentu.
”Kalau saya turun melaut, kadang hasilnya hanya cukup dimakan,” ujarnya saat ditemui Media Alkhairaat belum lama ini.
Dia menututurkan keinginannya untuk memiliki rumah yang layak sebagai tempat berlindung keluarganya.Namun kemiskinan yang menjeratnya tak mampu memenuhi hasratnya itu.
”Bagaimana saya bisa punya rumah pak, kalau pendapatan dari melaut hanya cukup untuk dimakan,” tuturnya.
Keriput dahi Lasahing yang telah berusia 51 tahun, terlihat sangat jelas dikeremangan lampu minyak malam itu, sebagai asa nestapa yang selama ini dijalaninya bersama istrinya yang bernama Lumme (41). Sambil membentulkan sarungnya, Lasahing melanjutkan kisah hidupnya diatas rumah reot yang selama ini ditempatinya.
Suatun malam saat tertidur nyenyak, anak terakhirnya berusia 5 tahun terjatuh ke tanah . Hal itu terjadi karena ruangan tempat tidur mereka hanya yang berukuran 2x3 meter. Tangis anaknya membangunkan dirinya secara spontan dan langsung mencari anaknya ke bawah rumah yang tepat di tepi pantai. Saat itu air laut sedang pasang, tanpa basa-basi anak terakhirnya yang telah jatuh ke air itu diangkat ke atas rumah dan dibungkus dengan kain seadanya untuk menghilangkan rasa dingin yang menusuk.
”Kalau saya tidak dengar dia menangis, mungkin anak saya sudah tidak ada karena tidak tertolong,” kata lasahibg dengan mata berkaca-kaca.
Lasahingpun melanjutkan kisahnya, harapan untuk memiliki rumah layak selalu muncul dibenaknya karena peristiwa jatuhnya anaknya ke laut. Asa itu muncul ketika program pemerintah berupa pembangunan perumahan nelayan turun di desanya. Dia mengaku rumah reotnya pernah di foto oleh salah seorang petugas desa, yang katanya untuk Program pembangunan rumah nelayan tersebut.
Harapan Lasahing untuk memiliki rumah yang layak itu mungkin mewakili sejumlah harapan nelayan tradisional yang kurang mampu di desa itu.
Tahun pun berganti, program pembangunan perumahan nelayan telah dikerjakan dan telah selesai.Namun apa daya, karena ketidakmampuan dari segi keuangan Lasahing pun tak bisa memiliki rumah nelayan yang dibangun pemerintah tersebut. Pasalnya dia tidak bisa menebus lokasi yang diatasnya di bangun rumah nelayan tersebut.”Kita harus siapkan uang sampe dua juta, untuk menebus lokasi perumahan nelayan itu. Dari mana saya bisa dapatkan uang sebanyak itu, kalau untuk makan saja kadang tidak cukup,” ungkapnya.
Tak ayal, besarnya uang tebusan lahan itu membuat harapan di depan mata untuk memiliki rumah layak harus disingkirkan jauh-jauh. Karena bagi dia lebih baik tinggal di rumah reot dari pada harus berhutang banyak.
Lasahing pun mengaku tak pernah merasakan bantuan pemerintah, untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Baik bantuan modal maupun bantuan peralatan tangkap untuk nelayan. Bahkan dalam turun melaut mencari hasil tangkapan kadang dalam sehari tidak memperoleh seekor pun ikan. Sehingga untuk makan saja kadang mereka tidak bisa meraskannya, karena tidak punya penghasilan untuk membeli beras.
Kehidupan Lasahing yang serba tak ada itu berbanding terbalik dengan harapan pemerintah daerah yang ingin mengentaskan kemiskinan bagi masyarakatnya melalui program kegiatan pemberdayaan perekonomian berbasis kerakyatan, yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat berbasis sumberdaya lokal.
Tak ayal harapan pemerintah daerah itu tak berlaku bagi Lasahing, karena untuk mengentaskan kemiskinannya, Lasahing tak pernah mendapatkan bantuan pengembangan usaha perikanan dan kelautan skala kecil yang selama ini di dengung-dengungkan pemerintah daerah sejak kabupaten ini berdiri tahun 2003 lalu. (***)

Tidak ada komentar:

Momen Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2018 di Poso

MOMEN HARI PENDIDIKAN NASIONAL MOMEN HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2 MEI 2018 DI POSO "Anak-anak Sekolah Dasar (SD) yang ada di Kot...